Friday, October 21, 2016

Simfoni Hitam, Pahit Getir




Sebelum kau mulai terpuruk dan mengasihani diri sendiri, izinkan aku sampaikan sebuah kisah. Tentang seorang gadis kecil  pemberani yang malang.

Dia seorang gadis dengan mata berwarna cokelat. Aku masih ingat tatapannya yang cemerlang, sudut matanya yang menularkan kebahagiaan. Beruntung hidupnya, ia lahir di tengah keluarga yang mencintainya. Namun, sama seperti yang sudah-sudah, takdir masa depan tidak ada seorang pun yang bisa menduga. Hidupnya luluh-lantah.

Ia masih ingat teriakan dan tangisan dari setiap sudut rumahnya. Ia masih ingat ratapan itu. Beberapa perabot pecah, pertengkaran itu bergema dalam tengkorak kepalanya yang belia. Kini meski warna matanya masih cokelat, kilaunya
berbeda. Dia tidak memiliki sudut mata indah itu lagi. Lalu hidupnya berkubang pada buku-buku roman, menikmatinya tanpa benar-benar percaya bahwa hal itu ada.

Dia beranjak dewasa dengan ketidakpercayaan; akan dirinya, akan pertemanan, keluarganya, akan cinta. Dia merasa sendirian. Saat dia menatap sesuatu diluar dirinya, dia menganggap tengah melihat gambar-gambar bergerak. Bertanya-tanya apakah gambar-gambar itu sama berpikir dan sakit seperti halnya dia.

Lalu suatu hari, dia berdiri memandang langit sore dengan sapuan warna emas. Ia menatap heran burung-burung hitam yang berterbangan. Ada sesuatu yang bergerak dalam jiwanya. Sebuah perasaan yang lama ingin ia bebaskan, ia biarkan terbang bersama kepak sayap burung-burung yang menari di angkasa. Ada yang bergerak di dalam hatinya. Perasaan sepi berkumpul, berkonspirasi, memberontak dan menentang.

Tak lama setelah itu, ia bergegas. Ia ingin melihat dunia. Ia ingin menemukan sesuatu diluar dirinya, membuktikan bahwa dirinya salah akan semua hal.

Perlahan, dengan ringkih, ia mulai hidup baru. Dia membuat sebuah kotak tempat ia bisa menyimpan semua kenangan pahit, untuk suatu hari ia buka kembali dan lihat dari sudut pandang yang berbeda. Dia melewati sepi yang lebih sendiri, menyingkirkan prasangka, dan menepikan perasaan benci.
Tidak mudah. Kadang, saat purnama, dia menangis di sudut kamarnya yang gelap. Tapi lalu saat pagi, dia menatap takjub semburat oranye di timur. Sapuan hangat mentari menyentuh dan membelai wajahnya yang sembab. Senyumnya kembali. Ia mulai merajut sendiri tawanya.

Pada suatu hari yang teduh, dia menemukan dirinya berdegup kencang oleh senyuman seseorang. Kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Perasaan itu lebih dahsyat dibandingkan detik-detik pembebasan. Ia menghirup banyak udara, tertawa setiap kalinya. Wajahnya bersemu, langkahnya menari, tubuhnya berdansa dengan angin. Daun-daun bergemerisik menciptakan simfoninya sendiri.
Ia buka dirinya, ia sediakan sebuah kotak lain untuk perasaan mahadahsyat ini, lebih besar dan lebih indah. Tapi lagi-lagi, gadis itu tidak pandai meramal masa depan. Cintanya menusuk dari belakang, berkhianat, menertawakan.

Kotak yang tepat untuk semua luka barunya. Ia memungut semua keping hatinya dengan gemetar. Memandang langit dengan nyalang. Ia gigiti bibirnya agar tidak  terisak. Semua hal yang ia lakukan hanya untuk membuktikan bahwa dirinya benar. Ada batasan pada takdir, dan takdir menertawakannya. Atau itulah yang dipikirkan si gadis.
Aku kini bertemu dengannya, menatap matanya yang cokelat. Mata itu balik menatap sendu. Aku tersenyum padanya, menguatkan. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padanya setelah semua cerita ini, “Kamu telah melewati begitu banyak. Semua rasa sakit ini tidak adil, aku tahu. Tapi kumohon, bertahanlah sekali lagi. Lewatilah satu rasa sakit lagi. Sebab saat tergelap adalah sebelum fajar menyingsing.” Aku tertawa getir, mengingat bahwa aku menemukan kata-kata tersebut pada novel roman yang kubaca—yang mati-matian kucoba tidak percayai.

Aku menatapnya lagi, jauh ke dalam mata cokelatku. Aku lega saat dia mengangguk padaku. Sebab aku percaya, jauh dalam dirinya, ada sebuah ruang kecil yang ia sediakan khusus untuk cinta. Lengkap dengan singgasananya.

Related Articles

Simfoni Hitam, Pahit Getir
4/ 5
Post by

Subscribe

Like this article? Subscribe by email