Sebelum kau mulai terpuruk dan mengasihani diri sendiri, izinkan aku sampaikan sebuah kisah. Tentang seorang gadis kecil pemberani yang malang.
Dia seorang gadis dengan mata berwarna cokelat. Aku masih
ingat tatapannya yang cemerlang, sudut matanya yang menularkan kebahagiaan.
Beruntung hidupnya, ia lahir di tengah keluarga yang mencintainya. Namun, sama
seperti yang sudah-sudah, takdir masa depan tidak ada seorang pun yang bisa
menduga. Hidupnya luluh-lantah.
Ia masih ingat teriakan dan tangisan dari setiap sudut
rumahnya. Ia masih ingat ratapan itu. Beberapa perabot pecah, pertengkaran itu
bergema dalam tengkorak kepalanya yang belia. Kini meski warna matanya masih
cokelat, kilaunya
berbeda. Dia tidak memiliki sudut mata indah itu lagi. Lalu hidupnya berkubang pada buku-buku roman, menikmatinya tanpa benar-benar percaya bahwa hal itu ada.
berbeda. Dia tidak memiliki sudut mata indah itu lagi. Lalu hidupnya berkubang pada buku-buku roman, menikmatinya tanpa benar-benar percaya bahwa hal itu ada.
Dia beranjak dewasa
dengan ketidakpercayaan; akan dirinya, akan pertemanan, keluarganya, akan
cinta. Dia merasa sendirian. Saat dia menatap sesuatu diluar dirinya, dia
menganggap tengah melihat gambar-gambar bergerak. Bertanya-tanya apakah
gambar-gambar itu sama berpikir dan sakit seperti halnya dia.
Lalu suatu hari, dia berdiri memandang langit sore dengan
sapuan warna emas. Ia menatap heran burung-burung hitam yang berterbangan. Ada
sesuatu yang bergerak dalam jiwanya. Sebuah perasaan yang lama ingin ia
bebaskan, ia biarkan terbang bersama kepak sayap burung-burung yang menari di
angkasa. Ada yang bergerak di dalam hatinya. Perasaan sepi berkumpul,
berkonspirasi, memberontak dan menentang.
Tak lama setelah itu, ia bergegas. Ia ingin melihat dunia.
Ia ingin menemukan sesuatu diluar dirinya, membuktikan bahwa dirinya salah akan
semua hal.
Perlahan, dengan ringkih, ia mulai hidup baru. Dia membuat
sebuah kotak tempat ia bisa menyimpan semua kenangan pahit, untuk suatu hari ia
buka kembali dan lihat dari sudut pandang yang berbeda. Dia melewati sepi yang
lebih sendiri, menyingkirkan prasangka, dan menepikan perasaan benci.
Tidak mudah. Kadang, saat purnama, dia menangis di sudut
kamarnya yang gelap. Tapi lalu saat pagi, dia menatap takjub semburat oranye di
timur. Sapuan hangat mentari menyentuh dan membelai wajahnya yang sembab.
Senyumnya kembali. Ia mulai merajut sendiri tawanya.
Pada suatu hari yang teduh, dia menemukan dirinya berdegup
kencang oleh senyuman seseorang. Kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya.
Perasaan itu lebih dahsyat dibandingkan detik-detik pembebasan. Ia menghirup
banyak udara, tertawa setiap kalinya. Wajahnya bersemu, langkahnya menari,
tubuhnya berdansa dengan angin. Daun-daun bergemerisik menciptakan simfoninya
sendiri.
Ia buka dirinya, ia sediakan sebuah kotak lain untuk
perasaan mahadahsyat ini, lebih besar dan lebih indah. Tapi lagi-lagi, gadis
itu tidak pandai meramal masa depan. Cintanya menusuk dari belakang,
berkhianat, menertawakan.
Kotak yang tepat untuk semua luka barunya. Ia memungut semua
keping hatinya dengan gemetar. Memandang langit dengan nyalang. Ia gigiti
bibirnya agar tidak terisak. Semua hal
yang ia lakukan hanya untuk membuktikan bahwa dirinya benar. Ada batasan pada
takdir, dan takdir menertawakannya. Atau itulah yang dipikirkan si gadis.
Aku kini bertemu dengannya, menatap matanya yang cokelat.
Mata itu balik menatap sendu. Aku tersenyum padanya, menguatkan. Aku hanya
ingin mengatakan sesuatu padanya setelah semua cerita ini, “Kamu telah melewati
begitu banyak. Semua rasa sakit ini tidak adil, aku tahu. Tapi kumohon,
bertahanlah sekali lagi. Lewatilah satu rasa sakit lagi. Sebab saat tergelap
adalah sebelum fajar menyingsing.” Aku tertawa getir, mengingat bahwa aku
menemukan kata-kata tersebut pada novel roman yang kubaca—yang mati-matian
kucoba tidak percayai.
Aku menatapnya lagi, jauh ke dalam mata cokelatku. Aku lega
saat dia mengangguk padaku. Sebab aku percaya, jauh dalam dirinya, ada sebuah
ruang kecil yang ia sediakan khusus untuk cinta. Lengkap dengan singgasananya.
Simfoni Hitam, Pahit Getir
4/
5
Post by
Ads Articles